Pages - Menu

Jumat, 05 Februari 2016

Jessica Dalang Dibalik Tewasnya Mirna

Beberapa minggu yang lalu, Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan kasus teror bom di kawasan Sarinah, Jakarta. Belakangan ini, muncul pemberitaan terbaru, yang tidak kalah hebohnya dibandingkan dengan kasus teror bom di Sarinah, yaitu kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Wayan Mirna Salihin atau yang akrab disapa Mirna tewas setelah meminum secangkir kopi Vietnam. Setelah dilakukan penyelidikan oleh pikah kepolisian, ternyata ada kandungan asam sianida didalam kopi yang telah diminum Mirna.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari kepolisian Polda Metro Jaya, maka terkumpul beberapa nama terkait dengan kasus terbunuhnya Mirna. Dan beberapa hari yang lalu, akhirnya kepolisian menetapkan Jessica, teman akrab Mirna, adalah tersangka dibalik terbunuhnya Mirna. Padahal sebelumnya status Jessica adalah saksi. Banyak spekulasi yang muncul dari semua kesaksian yang diberikan oleh Jessica, yang membuat kepolisian mengambil keputusan bahwa Jessica adalah dalang dibalik kasus pembunuhan ini.

Dalam hal ini, penulis akan mencoba menganalisa pemberitaan tentang kasus pembunuhan Mirna, yaitu dari segi kode etik jurnalistik / pemberitaan. Pertama-tamanya, penulis meminta maaf apabila ada kesalahan atau salah pengartian dalam menganalisa kasus ini, karna harap dimaklumi penulis masih berstatus mahasiswa di sebuah universitas negeri. di Padang. Sebelum masuk ke analisis yang ingin penulis utarakan, alangkah baiknya penulis menjelaskan dulu apa-apa saja Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), antara lain :

Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5: Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6: Wartawan Indonesia menyalahgunakan profesi dan menerima suap.
Pasal 7: Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9: Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10: Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11: Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.



Baiklah, lanjut kepada analisa yang ingin penulis utarakan. Ada satu berita terbaru yang menjadi fokus dari penulis, yaitu berita dari sebuah media online, "Ogah Makan yang Biasa, Intip Elitenya Makanan Jessica Wongso di Sel Polda". (klik disini)

Dia dikabarkan tak mau menyantap menu gratis yang disiapkan polisi.

Selain itu, Jessica juga memesan donat bermerek JCo.

Dia diberi menu sate oleh polisi.

Menurut penulis, berita itu tidak ada nilai jurnalistiknya, melainkan hanya menambah "hangat" pemberitaan tentang kasus pembunuhan Mirna. Landasan penulis berpendapat seperti itu karena sebaiknya jurnalis/wartawan memberitakan hal yang lebih informatif. Seharusnya jurnalis bisa lebih selektif dalam memilih topik yang akan dijadikan berita, bukan hal-hal yang tidak penting seperti makanan Jessica selama menginap di dalam sel. Terkecuali jika jurnalis memberitakan Jessica dibesuk oleh keluarganya atau Jessica masih harus mengikuti beberapa penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, mungkin pemberitaan seperti itu akan lebih memberi informasi kepada masyarakat.

Saat inipun Jessica sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan pemberitaan tentang kasus inipun mungkin harus dikurangi intensitasnya, mengingat masih banyak hal-hal penting atau kejadian lainnya di Indonesia yang jauh lebih bermanfaat untuk dipublikasikan, agar masyarakat tidak semakin dibutakan oleh media. Mengingat sejauh ini sudah terlalu banyak unsur-unsur kepentingan dalam media massa yang menyebabkan masyarakat hanya menerima pemberitaan yang disodorkan oleh media.

Sekian analisis penulis terkait pemberitaan tentang kematian Mirna, semoga menjadi pembelajaran untuk kita semua. Apabila ada salah atau kekurangan, mohon dimaafkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar